Shocking Effect dan cerita di balik itu semua

beberapa waktu lalu, saya menulis sebuah artikel di Kompasiana mengenai menanam pohon. dan entah mengapa, memang tulisan saya itu sepertinya agak mengganggu beberapa pihak, kemudian menuai protes dalam komentarnya. hahaha, agak nyesek juga sih, bukan karena saya tak suka kritik, saya membutuhkannya. hanya saja agak shocking, entah karena apa, mungkin rasa seperti dibilangin begini sama beliau :
"Sok tau banget deh elu!, udah sana mending pergi ke kamar mandi, cuci muka, sikat gigi, trus tidur ".
apalagi saya termasuk penulis baru yang absurd, yang menulis seringkali ala kadarnya, dan tanpa riset-risetan, hanya mengandalkan perkiraan dan sedikit perhatian. dan jujur saya tak tahu harus berbicara apa. saya memang tak begitu pandai menjawab :( 
maka ketimbang saya menjawab balik komentarnya, dan kemudian saya menjadi ngawur, tulisan saya semakin tak mengenakkan untuk dibaca, saya putuskan untuk membuat tulisan tambahan. bukan untuk menjadi pembenaran sih, hanya berupaya mengatakan bahwa kita pasti bisa kalau kita percaya!!! #Eaaaa...
so, here my words for them :


Sepertinya sulit sekali hidup di kota, kalau kita berharap atau memaksakan diri akan adanya tempat tersedia walau hanya sedikit untuk ditanami pohon.

Saya tak tahu persisnya karena sesungguhnya saya adalah orang desa, yang tinggal di perkampungan dengan sekeliling rumah masih banyak terhampar pesawahan, dan pepohonan; Kelapa, mangga, rambutan, jeruk nipis, dan kawan-kawan.

Kesulitan apa yang dihadapi oleh mereka yang hidup di perkotaan dengan problem dan konflik yang berbeda pun tak begitu saya pahami, dan sesungguhnya sedikit agak lancang bagi saya untuk mengajak para “Citizen” untuk berupaya menanami tempat tinggalnya dengan “Sepohon kayu daunnya rimbun, lebat bunganya serta buahnya”.
Kesannya seakan-akan saya ini Bapak Presiden SBY yang bilang sama rakyatnya : “BBM itu harus naik, dan kita pasti bisa melewati dan menghadapinya, salah satu solusinya tentu saja dengan BLT, semangat yaaaa!! “.
Padahal hidup kan tak segampang itu, yang punya kendaraan roda dua semacam motor, yang cicilannya belum lunas, dengan gaji pas-pasan, punya anak 5, dan bukan dari golongan PNS, sementara motornya harus selalu diisi bensin karena ternyata dari rumah menuju tempat kerjanya tak ada kendaraan umum, dan kendaraan yang mampu melewati rute rumahnya hanyalah motor, bagaimana mungkin akan dengan mudah menerima kebijakan macam itu?

Sedang disisi lain beberapa kendaraan dengan plat merah dan kendaraan beroda empat dengan warna bersinar, keluaran baru, deru suara kendaraan halus, melenggang dengan pasti ke arah pom bensin bertuliskan “BBM Bersubsidi”, lalu dengan ringannya berkata “Mas, full tank yahh”. Yang macam begini pun herannya masih ada juga yang tak terima BBM naik kelas.

Sungguh pelik. Maka itu sulit sekali menjadi pemegang keputusan apalagi di negeri dimana segala rupa hal bisa jadi masalah, mulai dari Dukun, Santet, Bawang Putih, Selebriti yang jadi Caleg, Selebriti yang terjerat Narkoba, Selebriti bercerai, Selebriti nikah lagi, sampai Impor Sapi.

Lantas, kalaulah kita biarkan negeri ini, tak usah kita pedulikan yang namanya nabung-nabung pohon, lebih baik nabung uang di bank daripada nabung pohon yang tanahnya aja nggak ada. Maksud hati memeluk gunung apa daya gunungnya tak ada.

Jika kita biarkan semuanya.

Apakah kelak kita tak akan menyesal? Tak akan rindukah kita dengan pohon jambu air di pematang sawah yang dinaiki bersama teman-teman sekolah dengan wajah dekil penuh keringat, namun juga berlumur tawa??
Semuanya tentu saja perlu solusi, saran, dan teman-temannya. Perlu ada  kerja sama dan pembicaraan antar berbagai pihak, bagaimana solusi bagi perumahan padat penduduk tanpa lahan kosong untuk satu-dua batang pohon.

Lantas sebagai masyarakat, apa daya kita? Bagaimana agar aspirasi kita didengar? karena rasa-rasanya belakangan ini semua orang saling memperdengarkan pendapat dan aspirasinya, mendiskusikannya di ruang publik, namun semua itu hanya bergema di sekitar kita saja, suara kita seperti kurang kencang dan tak terdengar ke “atas” sana, atau mungkin tingkah kita malah nampak seperti dagelan oleh mereka?

Lalu bagaimana? Apakah kita tidak bisa ngapa-ngapain?.

Sebagai orang kampung, akan nampak lancang dan kurangajar kalau saya dengan menggebu memberikan saran ini-itu pada mereka yang hidupnya dikelilingi hutan tembok tinggi. Tapi bukankah semua dapat diusahakan? orang yang tinggal disana dan setiap hari bergelut disana lebih dimungkinkan paham akan kondisi lingkungannya, dan kemungkinan celah yang dapat diambil termasuk bagaimana mencari solusi agar negeri kita yang ngawur ini menjadi sedikit lebih baik.

Hanya saja untuk seperti itu, ada hal yang kita perlu miliki terlebih dahulu ; Keyakinan.

Percaya kalau kita bisa. Karena jika kita tak percaya kita bisa mengubah sesuatu, bagaimana mungkin orang lain akan percaya terhadap kita?

Komentar

Postingan Populer