Kehilangan
Tanggal 09 September 2023,
Tanpa sengaja gw lihat postingan Mbak Chandra Widanarko soal kehilangan dan langsung clique dengan kalimatnya. Langsung screenshoot karena suka. Pikirku begitu.
Ketika yang pergi telah selesai dengan urusannya di dunia ini. Kami yang ditinggalkannya lah yang belum merasa cukup.
Masih belum bisa melepas.
Belum rela
Ikhlas masih jauh dari kesadaran.
Blank.
Seperti kata Mbak Chandra.
Kehilangan itu mendadak pastinya sehingga tidak ada istilah persiapan dulu.
Belum genap 1 bulan dari postingan Mbak Chandra.
Kiamat kecil terjadi dalam hidup gw.
Ibu mertua gw meninggal, lepas seminggu kemudian, nenek pun allah panggil.
Ketika yang pergi telah selesai dengan urusannya di dunia ini. Kami yang ditinggalkannya lah yang belum merasa cukup.
Masih belum bisa melepas.
Belum rela
Ikhlas masih jauh dari kesadaran.
Blank.
Seperti kata Mbak Chandra.
Kehilangan itu mendadak pastinya sehingga tidak ada istilah persiapan dulu.
Belum genap 1 bulan dari postingan Mbak Chandra.
Kiamat kecil terjadi dalam hidup gw.
Ibu mertua gw meninggal, lepas seminggu kemudian, nenek pun allah panggil.
Dan anehnya gw si bewer bin cengeng ini selalu saja holding my emotion back.
Semacam tombol reset.
Berulang kali berbunyi di kepala alarm yang sama
"Jangan cengeng! Jangan cengeng!".
Menyaksikan suami, terutama kakak kakak ipar yang menangis hingga tak sanggup berdiri membunyikan alarm dalam diri gw. Keep your head high!.
"Ngga ada waktu untuk nangis!!!".
Laten then i know.
Gw punya rasa kepercayaan diri yang rendah.
Gw kalo nangis bakal cengeng banget.
Malu maluin banget kalo gw lebih cengeng dari anak anaknya ibu sendiri.
Sampai akhirnya, pagi itu seorang saudara suami dari Bogor tiba. Beliau menyapa gw yang saat itu waktunya memandikan janazah.
Gw salim tangannya.
Beliau peluk gw, gw bilang "Mbak, maafin ibu yaaa".
Itu aja.
Tapi entah kenapa kemudian rasanya semua emosi dan air mata yang gw tahan tiba tiba saja ambrol, jebol dan gw nangis sesenggukan.
Lega.
Sekali.
Menemukan sebuah tempat untuk melepaskan emosi yang tertahan.
Belum genap seminggu, tengah malam. Nenek nggak ada.
Yang bisa dihubungi saat itu adek cewe gw. Yang ditelepon dengan ponsel suami.
Saat itu gw cuma bisa diem. Blank. Nangispun engga bisa. Loh koq bisa?.
Kan janjinya besok pulang kerja gw mau pulang kesana buat nengok nenek di rumah sakit.
Kan gw belum pulang, tapi nenek udah keburu pulang?.
Terus gw gimana?.
Beberapa hari sebelumnya, terakhir kali Nenek bisa bicara dan merespon nenek tanya ke gw "Kenapa ngga pulang? Pulang aja dulu sebentar kesini".
Gw nggak tahu maksud nenek pulang ternyata adalah pulang untuk ziarah ke kuburannya.
Bukan bertemu dengannya di rumah sakit.
Nenek gw yang luar biasa cengeng dan nangisan, yang diwariskan ke gw.
Nggak lama mamah nelepon ke nomor gw.
Gw cuma bisa nanya "Mahhh, kumaha atuh".
Udah sisanya gw nangis doang.
Sejak kecil gw sangat membiasakan diri untuk menahan nangis, meskipun gw cengengan liat iklan dan adegan sedih di tipi aja gw meleyot tapi karena bapak ngga demen liat anaknya nangis jadi di kepala gw itu kaya ada warning "Jangan Cengeng" "Ga bole Nangis". Gitu gituuu. . .
Gw tumbuh dengan meyakini kalau menangis adalah sebuah kesalahan.
Baru belakangan ini gw belajar dengan kalimat "Nggak apa apa kamu nangis di dunia nyata".
Tahun-tahun gw SMA dan kuliah gw belajar menangis dan meluapkan air mata dengan membaca buku dan menonton.
Tapi menangis di dunia nyata. Menangis di depan orang lain, itu hal lain yang lebih menyulitkan lagi.
Makanya ketika ketemu kondisi kondisi ini gw selalu masih meraba dan kebingungan mengelola emosi dalam diri gw.
Sekarang emang gw boleh nangis?
Tapi gw amat bersyukur.
Bertemu dengan suami gw, gw perlahan menyembuhkan luka kecil gw, entah dia sadar atau enggak. Sepertinya sih engga.
Dia "memaksa" gw untuk membiasakan diri saling meminta maaf, dan rekonsiliasi jika sudah berantem. Dia membolehkan gw menangis dan ngga menyuruh gw berhenti nangis.
Dia nampak percaya diri dengan dirinya yang merasa sedih, merasa marah, menangis, bahagia. Dia tidak nampak menahan dirinya untuk menangis di depan istrinya, dan gw jadi belajar bahwa gw boleh seperti itu.
Gw boleh untuk lemah didepan dia, dan betapa leganya perasaan itu.
A few years ago.
Ketika gw kehilangan bapak gw.
Gw bahkan engga berani menangis sama sekali.
Gw masih dalam kondisi blank.
Sejak dini hari hingga malam gw masih blank.
Dan gw ngga berani menunjukkan tangisan gw yang gw maknai kelemahan ini bahkan sama mamah gw.
Karena kalo gw juga lemah, terus mamah gw nanti gimana???.
Lepas. Hampir setiap malam atau setiap gw sendiri gw selalu menangis. Gw selalu kembali ke hari itu, hari dimana bapak engga ada.
Sekarang ketika gw mengingat hal itu, gw menyadari tangisan gw setiap gw sendiri adalah penyesalan terhadap diri gw sendiri yang tidak berani sekalipun meminta maaf, tidak pernah berani mengatakan sayang kepada beliau ketika beliau sakit dan memilih mengabaikan semuanya.
Gw menangisi sisa waktu yang gw lepaskan begitu saja dengan memegang teguh keyakinan bahwa bapak akan sembuh.
x
Komentar
Posting Komentar