Ke Bandung, Kemana?
Siapa sangka seorang Ayu Gina punya kelakuan ngga biasa. Gw yang terbiasa menghabiskan libur dengan tidur, atau browsing, atau bengong, atau nonton tivi, atau guling-guling ngga jelas, atau yang semacamnya pokonya yang jelas selalu berkaitan dengan tempat tidur, dan nggak kemana ; That’s perfectly me.
Enggak lagi sombong koq, hanya tengah mendesripsikan gw yang biasanya.
Lalu kemudian setelah beberapa tahun tinggal di Ibukota tercinta yang selalu penuh sesak ini, pola gw berubah mendadak, semacam gonjang ganjing juga dalam diri. But i enjoy the change itself.
Bagaimana seorang gw yang introvert ini berkelana kemana-mana tiada habisnya. Tentu saja hal aneh, karena hal semacam itu tak pernah jadi bucket list seorang Ayu. Then how could it be?
Tentu saja karena gw ‘ditemukan’ oleh seorang ekstrovert yang doyan wara wiri kemana-mana.
Kenapa gw pake istilah ‘ditemukan’?. Karena seorang Introvert engga pernah mencari. Dia akan diam saja. Sampai seorang Ekstovert menemukan, dan ‘mengadopsinya’. Jahahah. Istilahnya gitu amat yes.
The point is, apalah daya seorang Introvert yang hidupnya lebih senang di dalam Goa kalau tak diseret-seret sang Ekstrovert. So then, dimulailah perjalanan gw, kesana kemari.
I realize kalau sekitar setahun lebih ini gw udah sering bepergian ke tempat-tempat yang ngga gw pikirkan sebelumnya akan kesana, kemudian tau-tau gw udah menginjakkan kaki aja disana. Agak sayang sekali kalo ngga gw abadikan di sini.
So here i goes with our newest Flash Travel. . .
Paris Van Java belakangan lagi happening banget sama satu tempat yang namanya The Lodge Maribaya. Pertama kali gw intip di Instagramnya rekan sekantor gw yang lagi Rihlah disana sama teman-teman kelas pengajiannya di Al Azhar. Pikir gw, itu tempat asik ajah. Ijo, nan penuh sesak dengan pohon pinus. Belum lagi kalo browsing di Instagram dengan hashtag #TheLogde atau #Maribaya. Dijamin ngiler pengen segera berpose kesana.
Lalu kesana kah gw?.
Sayangnya engga. Wkwkwk.
Rencana awal. Iya. Kemudian batal, ketika kami menyadari libur kami bertepatan dengan weekend, yang menjamin tempat satu itu bakal penuh sesak tak terkendali. Gw pribadi sih malas membayangkan akan seperti apa antriannya. Berdasar kisah kakak kosan gw yang weekend sebelumnya datangi ke The Lodge pun kisahnya begitu. Pengunjung penuh sesak, Hujan deras yang bikin kegiatan foto-foto di wahana dihentikan, plus antrian mengular, membuat mereka akhirnya menyerah dengan antrian itu dan memutuskan meninggalkan wahana karena antrian untuk foto saja bisa menghabiskan waktu berjam-jam.
Bayangkan!!. Waktu liburan habis cuma untuk sejepret poto? Kidding me??.
Oh nope. Gw ngga ke berniat ke Bandung hanya untuk antri satu foto selfie, kemudian pulang lagi ke jakarta. Nope.
Jadilah. Kami berenam. Yang sejujurnya sejak awal merencanakan trip tak tahu hendak kemana (yang penting judulnya liburan), kami mengandalkan semuanya pada Suhu tertinggi kami dalam urusan Bandung, A Tofik, nu asli Made In Bandung, pituin Jamika caket pintu tol Pasir Koja. Yang biasanya kalo lagi pulang kampung ke bandung sama bininya kerjaannya tidur doang. Bikin bininya misuh-misuh gegara ngga pernah diajak jalan-jalan.
Jadilah setelah diskusi panjang pendek, browsing-browsing centil, kami putuskan untuk ke daerah Ciwidey ; Kawah Putih. Satu hal yang gw tahu Kawah Putih adalah : Ini lokasi Syutingnya film My Heart. No more. Kekeke. Perjalanan habis sekitar 3 jam. Karena kami sempat berhenti sebentar di Rumah Kelinci buat makan siang.
Jalanan yang lumayan berkelok dan menanjak juga bikin semua peserta liburan yang berjumlah 5 orang ketar ketir, karena disupirin oleh driver yang baru lancar bawa mobil belom genap 5 bulan. dan sok-sokan pengen ngebut. Sang Ekstrovert berkacamata. Sebenarnya sejak dari jalan tol pun semua orang –kecuali gw- nampak tegang dan stress melihat tingkah nyetirnya. Apalagi kala sudah masuk KM 97, ibu-ibu di belakang mulai berisik
Wajah-wajah bahagia nan tertekan garagara gaya nyupir bapak tetangga
Dia Cuma ketawa aja denger backsound sesepuh di kursi belakang mengomentari gaya nyetirnya. Secara kami berdua paling muda. Pasti sulit bagi mereka menyerahkan tampuk kontrol kendaraan pada orang berkacamata satu ini. Tapi di satu sisi mereka juga tak bisa melawan karena memang hanya dia yang bisa menyetir dan takkan ditilang pak polisi di Bandung. Mereka semua benar-benar berada dalam kondisi Fetakompli, a.k.a Fait Accompli ; berada di kondisi "pasrah mau-tak-mau ya mau gimana lagi". Yang belakanglah yang heboh menyaksikan dia menaik turunkan gas, nyalip bis pariwisata, dan ngotot ngejar mobil timor warna ijo. Begitulah perjalanan kami, tiada damai dirasa karena semua orang tegang dengan driver baru ini.
Kami sampai di pintu masuk bawah Kawah Putih sekitar jam 1 siang. Di pintu gerbang ini, kami dikasi 2 pilihan di sana untuk menuju kawahnya; Lanjut dengan kendaraan pribadi naik ke atas, dan dikenakan biaya parkir khusus kendaraan 150.000. atau naik ontang-anting dari halte yang tersedia tak jauh dari parkir bawah dengan harga 15.000. biaya tersebut belum termasuk biaya masuk perorang yang dikenakan 25.000 di hari weekend tersebut. Semua suara sepakat memakai jasa Ontang Anting tersebut.
Ontang Anting ini semacam angkot ibukota yang sedikit dimodifikasi. Tempat duduknya berupa besi. Posisi duduknya persis tempat duduk kereta shuttle yang suka wara-wiri di monas. terdiri dari 3 deret, peruntukan 3 orang di depan, 3 di tengah, 4 orang di belakang, dan 2 orang di samping supir. Jadi si Ontang Anting ini takkan pernah beranjak dari haltenya sampai penumpang sudah berjumlah 12 orang. Samping kiri kanannya sudah tak berjendela. Bolong begitu saja. Tapi nampak ada penutup plastik yang sedikit menjuntai karena tak diikat rapi. Tentu fungsinya sebagai penutup kala hujan turun di wilayah Kawah Putih itu.
Perjalanan dari Gerbang bawah ke gerbang atas tak menghabiskan waktu lama, sekitar 20 menit kami sudah sampai di puncak disaambut dengan wangi belerang. Udara di sana di luar bayangan gw. Not that cold actually. Dingin, but gw masih bisa bertahan tanpa harus pake sarung tangan, gw pikir akan sedingin Dieng yang bikin gw gemeletuk.
benda yang kamu perlukan kalau ke sini adalah MASKER
Habisnya kalau gw liat di foto orang-orang yang foto di Kawah Putih pada pake Jaket tebal, dijawab kemudian oleh celetukan kawan gw
“Ya kan biar keliatan agak keren”.
Kami beruntung hari itu tak hujan. Gelap kadang timbul di langit, seakan menggoda kami untuk segera menyelesaikan kegiatan foto-foto tiada henti ituh. Tapi matahari tetap bersikukuh terang, jadi hasil foto kami pun menakjubkan. Lama berfoto ternyata bikin gw kelenger mabok belerang. Sampai sempat terbatuk-batuk, mencium bau belerang yang menusuk hidung dan membuat keleyengan, namun juga masih berusaha bertahan karena pose-pose kecenya belum selesai.
fotofoto di atas dipersembahkan oleh mata yang berair nan perih, dan hidung yang kelenger bau belerang
Perjalanan kami lanjutkan ke Situ Patenggang. Tak begitu jauh dari Kawah Putih. kami tinggal melanjutkan perjalanan beberapa menit yang kali ini suasananya dipenuhi kebun teh di sepanjang mata memandang. Benar-benar menyegarkan mata. Sampai kawasan Situ Patenggangang, di Pintu masuk kami dikenakan biaya masuk 20.500 untuk per orangnya,dan parkir kendaraan 35.000.
Dari pintu masuk itu, kami masuk ke jalur kebun teh, turun ke bawah terus meluncur dan meliuk turun, sampai akhirnya pemandangan kebun teh muncul dari sisi kiri kami. Airnya hijau. Beriak-riak pelan digoda angin yang berhembus. Berkubik air di dalamnya membuat gw sedikit terkesiap karena danaunya amat luas. Ah ya. Gw ini ada semacam phobia kala liat air dalam jumlah banyak. Apalagi kalau kedalaman airnya belum diketahui, atau lebih dari leher gw. Dijamin gw akan sesak nafas duluan.
begitu kamu lewatin pintu masuk, kamu akan langsung nemuin spot kece buat foto di kiri jalan
Kisah Situ Patenggang sendiri, dari yang gw simak di website www.situpatenggang.com, ini memiliki nama alias Situ Patengan. Kedua panggilan tersebut memiliki makna unik yang berbeda. Patenggang (Sunda : Terpisah), dan Patengan dari asal kata Pateangan (Sunda : Mencari). Berdasar pada kisah di balik Situ ini, dimana ada sepasang kekasih yang terpisah Jarak yang amat jauh. Namun keduanya saling mencari, hingga akhirnya bertemu di Batu Cinta yang ada di lokasi Situ tersebut. Info lengkap sejarahnya bisa dicek di situs resminya.
Di situ Patenggang ini kita bisa Naik kapal untuk menyeberang ke pulau kecil di tengah Danau. Dan melanjutkan ke (Resto Kapal) atau muter-muter naik Angsa-angsaan.
Lepas dari Situ Patenggang dan selfieselfie yang menyita waktu di kebon teh, kami meluncur turun ke daerah Jamika lagi. Rencana awal, malamnya kalau tak hujan, kami berencana naik ke Punclut, jadi kami bersegera pulang agar bisa istirahat sejenak.
Sampai Jamika jam 6 maghrib, kami semua tepar di kamar. Atau lebih tepatnya sih gw yang langsung tidur pules bar blass. Tanpa ganti pakaian bahkan masih kerudungan. Sempat terbangun ditanya mau makan enggak. Gw males jawab dan cuma menggumam. Tengah malam kemudian satu squad dibangunkan oleh empunya rumah A Tofik, ngajak makan (tengah) malam. Gw keliyengan liat jam, berasa udah subuh, apa isya, apa jam berapa? Ternyata jam 12 Sodara. Wth?.
Jadi tengah malem itu, A Tofik ngajakin kuliner di daerah Bandung yang udah terkenal banget, namanya Perkedel Bondon.
Bondon?
Kenapa perkedel Bondon? Gw yang urang sunda agak kaget aja denger namanya, setelah sekian lama merantau ke Jawa Tengah kemudian belok ke Jakarta, pada hari itu tetiba gw denger bahasa Buhun kembali. Kata yang sudah lama hilang dari pendengaran gw, yang dulu sering muncul-muncul dalam kalimat yang diucapkan orang sekitar gw pas masa sekolah di Tasik.
Seperti tengah membuka kamus kosakata lama gw, yang langsung gw asosiasikan dengan arti Pekerja Seks Komersial. Kemungkinan namanya begitu karena memang Perkedel ini baru mulai jualan malam hari dari Jam 11. Persis dengan jam ‘jualannya’ ‘mereka’.
perkedel yang dinanti dan dicari-cari sayang tak dapet saking antrinya
Sayang seribu sayang, ketika kami sampe lokasi, antrean perkedel Bondon ini mengular, sampe-sampe nomer antrian pun habis tak tersisa. Dan perut kami pun nampaknya takkan sanggup kalau harus menunggu macam itu. Lanjutlah kami melanglang buana mencari makanan tengah malam lainnya.
Yang pada akhirnya berujung makan nasi uduk pinggir jalan di daerah Jamika. Haddeeehhh. . .
Jadi kemudian begitulah akhir dari liburan hari pertama kami di Bandung, hari Kedua di Bandung akan masuk ke posting gw berikutnya.
See yaa. . .
Komentar
Posting Komentar