#An Unrevealed Me : See You Again
Lutut kami beradu rapat berkat tempat duduk di ujung ruangan yang ‘seadanya’.
Aku meringis ngilu dan mulas tiap kali lutut kami beradu.
Demi menyembunyikan gemuruh debur jantung dan gigil tubuhku kusibukkan diri mengaduk-aduk gelas kopi yang sesungguhnya tak perlu diaduk. Aku tak pernah memesan kopi dengan gula.
Aku nyengir melihatnya tengah menhatapku setelah menyeruput kpoi hitam panasnya.
“tumben lewat sini?”.
Kepercayaan diriku semakin merosot.
Dia pasti tengah menyindirku.
Aku yakin setiap kali aku melewati tempat ini dia pasti melihatku melintas, dan pernah memergoki aku yang juga tengah menatapnya dari balik kaca berembun.
Tak mampu menjawab apapun aku hanya meringis.
“Kamu. . . sehat?”.
Hanya pertanyaan standar dan bodoh macam itu saja yang mampu meluncur dari mulutku.
Ia mengangguk.
Lama kelamaan percakapan kami pasti akan menjadi pembicaraan tanpa kata dan hanya melibatkan gesture-gesture aneh saja.
Jangan bayangkan kami sedang berada di coffee shop dengan harga segelas kopi saja nolnya sudah sudah berderet empat digit di belakang angka utama, kemudian di luar tengah hujan deras.
Memang sihdi luar tengah hujan deras sih, plus angin kencang.
Tapi ini bukan coffee shop. Lebih tepatnya warung kopi tempat para bapak dan supir-supir, termasuk mahasiswa nongkrong sambil menonton bola.
Jawabannya sudah menjadi tepat sekali aku berada di tempat ini tentu saja bukan karena sengaja.
Sebuah keterpaksaan.
Karena hujan deras mengguyur tiba-tiba dan payungku yang biasa kubawa kemana- mana itu mendadak saja tertinggal di loker perustakaan plus aku tengah memikul jilidan hasil skripsiku.
Dengan berat hati aku berbelok di warung kopi dengan wangi semerbak ini.
Sembunyi-sembunyi masuk, merunduk dan duduk di kursi paling belakang dan tertutup oleh sekumpulan bapak berbadan besar ternyata tak mampu menghalangi kemampuannya dalam melacakku.
Dalam satu menit saja dia sudah berdiri di depanku dan membawakan segelas kopi hitam kesukaanku.
Dan segelas miliknya.
“Tanpa gula ya?”.
Aku mengangkat gelasku ke atas, menatap ke dalam gelas kaca yang di dalamnya bertumpuk partikel-partikel hitam yang diolah langsung oleh tangan ayahnya. Dipetik, dijemur, disangrai hingga ditumbuk secara manual oleh ayahnya.
“Wangi”.
Aku menghisap aroma yang melayang bersamaan dengan kepulan asap putih dari gelas.
Diseduh dengan air panas. Dan langsung begitu saja disajikan dalam gelas-gelas kaca atau gelas belimbing. Rasanya selalu sama, dan khas.
Ia menatapku seperti ingin menyelidiki.
“Tepat mewakili karakter kamu”.
“Tak ada manis-manisnya.”
Aku mengangkat kedua alisku, menanti analisanya.
“Terima kasih atas pujiannya”. Kubalas juga akhirnya
Kedua sudut bibirnya terangkat. Mau tak mau membuat lesung pipitnya ikut muncul.
Ingin sekali saja kalau boleh kusentuh lekukan dalam di pipi kirinya itu, entah lekukan itu, entah sudut bibir yang melengkung itu, atau entah karena dia yang memiliki semuanya hingga membuat kopi yang baru kusesap sesaat yang lalu ini jadi memabukkan, kepalaku agak berputar sedikit, dan ada sesuatu dalam perutku berdenyut-denyut, semacam rasa mulas yang muncul misterius.
Sensasi yang biasa terjadi saat di dekatnya. Kupikir setelah lama menghindarinya, rasa semacam ini akan menghilang dengan sendirinya. Tapi apa mau dikata, toh saat aku sudah berada di hadapannya, baru aku tahu kalau aku masih tak berdaya.
Ah, dia tentu saja tak tahu soal ini, dipikirnya aku tak pernah sekalipun serius mau mempertimbangkan kehadirannya. Aku sedikit merasa sedih karena ia tak tahu tentang isi kepalaku, namun di sisi lain aku juga bersukur, karena jauh dalam diriku yang defensif ini, aku masih saja tak mampu mempercayai orang begitu saja. Membayangkan mereka tahu perasaanku yang sebenarnya saja membuatku mual.
Ia mengerling ke arah tumpukan jilidanku.
“Sudah selesai semua?”.
Aku tersenyum kaku, melihat dirinya dan melihat tumpukan skripsiku, berarti membuatku ingat betapa panjang cerita yang kami lewat begitu saja, dan membuatku makin tak betah berada di dekatnya.
“Baru ujian akhir minggu depan”. Kujawab pelan.
Ia mengangguk. Ekspresinya tak bisa kutebak.
Masih banyak yang ingin kusampaikan padanya. Aku ingin sekali banyak berbicara dengannya. Bahkan kalau boleh langsung kubilang saja aku tak keberatan dia sering-sering berkunjung ke rumahku, menjemputku usai latihan Karate, atau mengundangku ke warung kopi milik bapaknya.
Aku ingin menghabiskan wakktu dengan berbicara banyak hal dengannya, berdebat soal kisruh politik, membicarakan film-film Tim Burton, berargumen soal style Kapten Jack Sparrow yang banyak mengingatkanku pada gaya panggung Hyde, dan dia tak setuju soal pendapatku.
Just like the old time.
Ketika aku, dan dia masih menjadi Kami.
Aku menatap ke arah jendela, menyadari butiran hujan sudah berubah jadi rinai kecil. Sedikit lega, dan lebih banyak tak puas, karena alasanku bertahan menjadi lemah.
Aku menarik nafas pelan.
Mungkin kami bisa bersama lagi. Tapi ada yang perlu diperbaiki, dia mungkin perlu bersabar sedikit lagi, karena banyak yang harus kubongkar ulang dalam kepala dan hatiku.
Agar kelak saat kami bertemu kembali aku tak ragu lagi menggenggam tangannya.
Komentar
Posting Komentar