#Kangen 2




Kenapa segala hal yang berkenaan dengan orang yang spesial dalam hati kita seringkali membuat kita kesulitan berpikir dan bernafas? Aku tak tahu kau setuju atau tidak, tapi yang jelas, ini nyata terbukti padaku. Hal-hal yang mengingatkanku pada orang itu, akan membuatku sekejap berada pada fase trance. Aku merasa jiwaku melayang, dan pikiranku mengelana kembali ke masa “kami berdua”. Itu sering terjadi begitu saja, dan dimana saja. Di bus, kampus, atau taman. Jadi sebenarnya, keberadaanku disini dengan duduk di bangku tempat pertama kali bertemu adalah melanggar pantanganku sendiri. Beresiko sekali untukku sebenarnya duduk dan menunggu disini. Bisa saja aku menjadi liar tak terkendali, atau meledakkan apa yang ada di benakku, di tempat umum macam taman ini.

 Seharusnya aku duduk manis saja di rumah. Menghapus nomor handphonenya, dan segala yang berhubungan dengannya. Kemudian mulai mengerjakan revisi skripsiku yang sudah 2 bulan tak kulihat sama sekali. Mungkin itu akan lebih efektif. Semester depan aku sudah jadi sarjana. Menghadapi hal baru, dan secara otomatis, aku akan bertemu manusia baru, yang semoga lebih tampan dari dia, dan punya lesung pipi dalam seperti dia. Eh tidak! Dia tak boleh punya lesung pipi. Paling tidak, kalau dia tersenyum, aku harus merasa aman dan terlindungi. Tapi lagi lagi aku hanya bisa memarahi diriku sendiri di dalam hati karena melanggar ikrarku sendiri, dan akhirnya malah menghubunginya. Menanyakan kabarnya, dan peliknya; meminta bertemu dengannya.

 Sepertinya kepalaku sudah rusak permanen!.

Heh! Gimana kalau gara-gara ini dia berpikir kamu  masih berharap sama dia?”

“Ya jelas dia pasti bakal mikir kaya gitu, gimana sih? Sama aja kaya orang di hutan liat asap di langit. Udah jelas ada yang bakar-bakaran!”

“Iya sih, terus gimana?”

“Iya apanya yang iya?”

“Iya... iya emang aku masih suka sama dia...”

Aaarghh...!!! aku mengacak kepalaku sendiri. Beberapa “aku” dalam beberapa versi diriku masih berdebat di dalam. Bahkan “aku” yang nomer sekian malah menyarankan agar aku menggali lubang kuburan dari sekarang. Perdebatan pelik ini tentu saja tak akan usai kecuali objek perdebatan mengakhirinya dengan sebuah pernyataan dia datang. Atau tidak. Aku memang menanyakan kabarnya, dan meminta untuk bertemu dengannya. Tapi hanya sampai itu. Ia bahkan tak sekalipun membalas pesanku. Lalu sedang apa aku disini? Mengharap dia benar-benar akan datang?, bagaimana kalau dia ternyata bahkan sudah punya istri berjilbab lebar, dengan kulit putih merona dan jabang bayi berumur 5 bulan di perutnya? Mau apa kamu?. Bagaimana kalau sms kamu saja salah kirim? Atau dia sudah ganti nomor dan kamu nggak tahu?.

Kadang aku ingin punya kemampuan untuk membunuh pikiranku yang banyak omong ini. Kepalaku ini rasanya penuh sekali dengan berbagai pikiran, pertanyaan, pernyataan, emosi, dan perasaan. Isinya teramat ramai, dengan aku yang penuh tawa, dengan aku yang berisi emosi, dengan aku yang banyak bicara, dengan aku yang sok cantik, dengan aku yang berkacamata, dengan aku yang suka pesta, dan aku yang sedang berdzikir. Sangat berisik. Ada tombol mute-kah di kepalaku? Atau aku memang perlu mengunjungi psikiater?.
. . . 

Komentar

Postingan Populer