Mind Screwed and A Book
So, i was got my academic degree just one week ago. Phewww... you know, when we actually was passed from that horrible assignment, some hurts feeling, creepy final exam, and other stuff. All i have to say is “Alhamdulilahirobbil alamiiin... Thanks god” for let me passed, for help me through these kinda path of life. But then, am realize when i saw my position; i am not a student anymore. What i mean here is the real life is start dude!!. I just still cant accept that today, is extremely different from tomorrow.
Saat seperti ini, rasanya guwe menjadi seorang pribadi Ikal yang
tiba-tiba tersentak saat menghadapi kenyataan, nyatanya selama ini guwe hidup di dalam mimpi guwe. Kembang api, arumanis, permen karet, wangi bunga, balon terbang, hujan gerimis, gadis cantik dan pangerannya, cinta yang manis, matahari bersinar lembut malu-malu menggelitik rumput hijau yang masih dipeluk embun di pucuk-pucuknya, orangtua yang penuh kasih, dan kisah bahagia selamanya.
tiba-tiba tersentak saat menghadapi kenyataan, nyatanya selama ini guwe hidup di dalam mimpi guwe. Kembang api, arumanis, permen karet, wangi bunga, balon terbang, hujan gerimis, gadis cantik dan pangerannya, cinta yang manis, matahari bersinar lembut malu-malu menggelitik rumput hijau yang masih dipeluk embun di pucuk-pucuknya, orangtua yang penuh kasih, dan kisah bahagia selamanya.
Lupa kalau dunia nyata sudah berantakan dan amburadul, lupa kalau ternyata saat ini bukanlah gerimis, tapi hujan deras, dan genting rumah tengah bocor, saat ini tengah badai, dan bom atom meledak; tentu saja dengan efek radiasi yang bertahan seumur hidupnya.
Hey! This is real life!. Rasanya kepala guwe teriak-teriak disepanjang hari, bikin sulit tidur, makan jadi enek, pikiran semakin enggan fokus. Kemudian, seperti yang terjadi pada Ikal, kami bertanya hal yang sama; yang manakah Realistis, atau sebelah mana saat kita dikatakan Pesimis?. Kalau menatap kenyataan itu, rasanya seluruh atribut mimpi dan katebelecenya harus segera ditanggalkan dari punggung harapan, kemudian menjalani yang sudah diharuskan. But then, it’s my life right?. Kenapa terlalu banyak intervensi dari banyak orang dengan berbagai agenda di dalamnya. Siapa yang layak dipercaya? Siapa yang menyembunyikan agenda terselubung? Siapa yang tengah tersenyum sambil menyembunyikan belati di sakunya?.
Oke, enough for Mind Screwed today.
I have red new book, a romantic comedy books, traslated from korean novel *love that*.
Judulnya Explicit Love Story, by the way, bagi yang masih punya pikiran bersih, berhati-hati dalam membaca buku ini (LOL).
Tentang isi buku ini, seperti biasa ending kisah romantis korea selalu predictable; Happy Ending. Seberapa besar dan rumit cobaannya, di akhirnya si cewek dan cowok pasti akan bersama > berpelukan > berciuman >> beberapa tahun kemudian udah nikah dan punya anak deh.
But then, i have a bunch of words that i got from that book. I retype these, and i figure out that i have a typical thought similiar with that woman :
“Mengukur besarnya perasaan seseorang, itulah yang paling sulit.”
“Coba pikirkan rasanya, mengkhawatirkan perasaan seseorang terhadapmu. Aku sudah melangkah maju dua langkah karena menyukainya, tetapi orang itu setengah langkah saja pun tidak mau mendekat. Kita akan tampak sangat menyedihkan dan terluka. Begitu pula sebaliknya, jika aku belum mendekat, tapi orang itu malah sudah berjalan mendekat ke arahku. Kalau sudah begitu, ada kalanya kita malah menjadi takut dan tidak enak hati.
Melakukan hal seperti itu untuk berhubungan dengan orang lain memang wajar, tapi jika mendekati hati seseorang dengan cara seperti itu justru harus sangat berhati-hati dan sangat melelahkan.
Terkadang, aku merasa iri pada orang yang bisa mengabaikan hal seperti itu dan menghadapi orang lain secara langsung dengan mudah. Tapi aku juga merasa tidak nyaman jika berdekatan dengan orang seperti itu.” (hal. 133).
“... apa aku tidak memiliki saat-saat ingin menyerah dan mau mati saja? Mereka semua tidak tahu apa-apa. Mereka tidak tahu kalau aku bertarung lebih keras dari siapapun agar bisa tertawa. Mereka tidah tahu kalau aku berusaha berkali-kali lipat lebih keras dibanding orang lain hanya untuk hidup. Mereka tidak tahu kalau sejak dulu aku bukanlah orang yang kuat. Aku hanya berusaha untuk kuat saja.
Aku juga menunggu seseorang yang hadir untukku, mengkhawatirkanku, dan menghiburku.”(hal. 300).
Geez. . . tak terbayangkan kalau hubungan 2 manusia bisa menjadi serumit itu. Mungkin itulah mengapa puisi cinta tak pernah ada habisnya, alasan dibalik lagu-lagu cinta selalu laku di pasaran –sepicisan apapun-, kemudian saat menyadari apa yang salah, apa yang sebenarnya mereka cari dan inginkan, kisah itu sudah terlalu lama, tua, dan sang kekasih; telah lama menghilang.
Komentar
Posting Komentar