Would You?




Aku bolak balik memecet acak keypad handphoneku hanya agar menenangkan degup jantungku yang makin tak beraturan.
memang dia belum datang. dan besar ketakutanku dia takkan datang. aneh juga kalau dia tak berpikir untuk tak mau menemuiku. orang yang selama ini bersikap seenaknya.

aku memandangi pepohoan di taman kota ini, bersyukur banyak karena entah berkat siapapun mereka masih mempertahankan pohon-pohon besar ini untuk tetap tumbuh dan menenangkan sedikit hatiku. kursi yang kududuki berwarna kusam, aku yakin umurnya pasti hampir sama dengan usia pohon tua disini.

tebakanku kurang tepat sepertinya, karena aku melihat seseorang berjalan ke arahku. dan aku tahu itu dirinya. ia masih kurus, caranya berjalan agak membungkuk. topi putih itu masih sama seperti bulan terakhir aku bertemu dengannya. Sial! itu memang dia.

"Hey . . . ".

aku terpana menatap tubuh jangkungnya yang ada di hadapanku, aku bahkan tak sempat berdiri. cerdas sekali. membuat kesannya padaku bertambah minus dari sebelumnya.

aku selalu berharap bisa bertemu dengannya, di sebuah keadaan dimana kami dituliskan bertemu, dan terjebak di suatu tempat bersama, dan hanya berdua. mungkin di halte bis yang sepi dan jarang dilewati orang, mungkin di bis tua yang melaju di akhir hari minggu, dan penumpangnya hanya kami berdua tentu saja atau mungkin sekalian saja kami tersesat di bangunan tua dan tak bisa keluar dari sana, entah karena alasan apa, yang jelas hanya ada kami berdua disana.

kenapa? tentu saja karena aku ingin bersamanya. aku ingin berbicara dengannya. aku ingin berlama-lama menatap wajahnya, aku ingin banyak berkisah kepadanya, dan aku ingin mendengar banyak cerita darinya, apapun.

bahkan sebenarnya, dari pertemuan kami yang sebelumnya, yang manapun. keinginan itu masih saja sama. dan semakin lama semakin aku tak mampu mengendalikan pikiranku, apalagi hatiku. aku semakin ingin bersamanya, dan itu membuatku  ngeri. ada bagian menakutkan dalam diriku yang ikut muncul ke permukaan bersama dengan kehadirannya. dulu kupikir aku tak akan atau tak pernah berpikir banyak hal berkenaan dengan interaksi diriku dengannya. kupikir dengan bertemu dan berbicara, dan menyudahi permbicaraan kami dengan lambaian tangan akan menyelesaikan segalanya. kemudian di hari lainnya kami akan bertemu kembali dan mengulang lagi hal yang sama. dengan akhir yang sama.
tapi ada bagian hatiku yang lain menginginkan lebih. dan aku takut, aku takut pada diriku dan aku takut dia juga akan takut padaku. maka kupikir lebih baik kami tak perlu bertemu lagi, karena setiap kali kami bertemu sama saja dengan mengajakku berjalan di atas tanah yang dipenuhi dengan ranjau disetiap meternya, aku tak akan pernah tahu sampai kapan keberuntungan akan selalu bersamaku. seperti membawa bola panas. aku ngeri.

ia duduk disampingku, membuka topi putihnya, ternyata rambutnya telah dipotong.
suaraku mendadak hilang. kalimat sapa yang kukira sebelumnya akan dengan mudah kuucapkan seperti kalimat "apa kabar?" atau "Kamu sehat?" semua tersangkut di tenggorokanku, berkonspirasi menolak keluar dan membuatku hampir tersedak, apalagi kalimat majemuk yang memerlukan beberapa tarikan nafas tentu saja takkan sanggup kulakukan. Oh iya, ternyata menatap wajahnya dengan ekspresi 'biasa saja' aku tak bisa. aku hanya bisa menunduk menatap sepasang sepatu kedsku. "Bodoh" desisku dalam hati.

***
. . . To be continued. . .

Komentar

Postingan Populer