Dan Semoga
Dia sudah menyadari sejak lama bahwa setiap orang selalu menginginkan agar dirinya dimengerti, tentang pilihan-pilihannya, pemikirannya, cita-citanya, apa yang disukainya, dan mengapa mereka tidak menyukai sesuatu. Tapi ternyata dia tidak begitu cukup memahami bahwa mengerti dan memahami saja tidak cukup. Bahwa masih banyak yang harus dia lakukan. Ternyata manusia bahkan sebegitu kompleksnya yang saking rumitnya mereka kadang tidak mampu memahami dirinya dengan baik.
Dia bukan hanya bertugas memahami. Dia harus memberi pemahaman kepada orang-orang di sekitar tentang apa yang tengah dipahaminya, dan membuat orang mengerti. Tidak cukup hanya dengan menunjukan bahwa aku mengerti. Dan lebih dari itu, dia harus bisa membuat mereka juga mengerti, bahwa orang lain pun perlu dipahami, bahwa hidup itu saling melengkapi, dan saling memberi. Tidak bisa hanya salah satu yang memahami dan yang satu lagi hanya mau dipahami tanpa pernah mau tahu kalau dia memiliki kewajiban yang sama dengan orang lain. Kewajiban untuk memahami. Sulit.
Tak bisa hanya diam saja, dia harus berkata, dia perlu mengambil, sikap apapun itu yang nantinya akan dia ambil. Cinta tak akan jadi cinta kalau dia hanya diam, dan rasa peduli pun tak akan tersampaikan kalau dia hanya menyimpannya, terkadang sesuatu perlu disampaikan. Sayangnya dia tak begitu memahami kapan dia harus berbicara, dan cenderung takut untuk mengambil resiko dengan berkata yang sebenarnya.
Lalu apa yang harus dia lakukan?
Dia tak mengerti. Dan lebih tepatnya memilih untuk tidak memedulikannya, menganggapnya sebagai sebuah masalah ringan yang tak perlu diperbincangkan. Menimbunnya rapat-rapat. Menyimpannya dalam gudang hatinya, menguncinya, lalu dibuangnya kunci itu. Dan pada akhirnya saat mereka mendapat pencerahan kemudian meminta dia untuk memberikan penilaian tentang diri mereka, dia hanya mampu meringis dan menggeleng pelan. Lalu mengucapkan kata-kata yang umum seperti ; baik, Rajin, Pinter. Dia bahkan tak pernah ingat kalau mereka pernah menghilangkan boneka kesayangannya dan tak pernah meminta maaf. Tapi dia tak pernah keberatan,- kalau tak mau dikatakan protes-. Dia hanya diam, entah adakah yang mengerti atau tidak bahwa sebenarnya dia juga menginginkan ada kata maaf meluncur dari mulut mereka. Namun dia memaklumi mereka dengan pengertian yang ditanam dalam hatinya ‘ karena aku tidak mengungkit-ungkit hal itu mungkin mereka menganggap kalau mereka tak perlu meminta maaf’. Lalu selesai.
Memang seperti itu nyatanya. Dia tak menginginkan bonekanya diganti baru, atau minta ganti rugi, atau marah. Tapi dia hanya menginginkan satu nada di mata mereka, yaitu penyesalan, atau maaf. Yang manapun boleh. Entah mana yang sebenarnya perlu diluruskan. Dia bukan tidak peduli hal-hal sekitar, dia Cuma takut disakiti. Dan lama-lama dia tak mau memikirkan hal-hal yang akan menyakitinya, karena yang da takutkan adalah begitu dia menyadarkan dirinya sendiri kalau dia sakit hati, dia takut tak mampu untuk memaafkan.
Salahkah berpikir begitu?
Entah, untuk pembenaran atas semua yang dia alamipun dia tak tahu harus bertanya kepada siapa. Kepada ibu-kah? Ayah-kah? Bibi? Atau kakak? Atau dosen filsafat? Dia tak kunjung menemukan jawabannya karena pertanyaannya sendiri pun lambat laun terkubur sejalan dengan bergulirnya waktu. Dia tak sempat mengingat detil-detil yang telah dia lewati. Dia tak mampu mengingat dengan baik.
Sekali lagi pertanyaan muncul ; Salahkah? Entah.
Dia berharap hidup akan baik-baik saja kalau dia mengikuti aturan main yang ada, sedikit melanggar mungkin tak masalah. Tapi hidup, senormal apapun, akan selalu berhadapan dengan tantangan, dalam bentuk yang bagaimanapun, dia sudah tahu itu. Tapi mungkin kadang dia lupa, dia terlalu asyik dengan pikirannya yang berputar-putar dan tak jarang kembali lagi ke awal seperti kincir angin, dia hanya membiarkan otaknya berputar tanpa memaksa untuk mendapatkan jawabannya.
Dia bukan hanya bertugas memahami. Dia harus memberi pemahaman kepada orang-orang di sekitar tentang apa yang tengah dipahaminya, dan membuat orang mengerti. Tidak cukup hanya dengan menunjukan bahwa aku mengerti. Dan lebih dari itu, dia harus bisa membuat mereka juga mengerti, bahwa orang lain pun perlu dipahami, bahwa hidup itu saling melengkapi, dan saling memberi. Tidak bisa hanya salah satu yang memahami dan yang satu lagi hanya mau dipahami tanpa pernah mau tahu kalau dia memiliki kewajiban yang sama dengan orang lain. Kewajiban untuk memahami. Sulit.
Tak bisa hanya diam saja, dia harus berkata, dia perlu mengambil, sikap apapun itu yang nantinya akan dia ambil. Cinta tak akan jadi cinta kalau dia hanya diam, dan rasa peduli pun tak akan tersampaikan kalau dia hanya menyimpannya, terkadang sesuatu perlu disampaikan. Sayangnya dia tak begitu memahami kapan dia harus berbicara, dan cenderung takut untuk mengambil resiko dengan berkata yang sebenarnya.
Lalu apa yang harus dia lakukan?
Dia tak mengerti. Dan lebih tepatnya memilih untuk tidak memedulikannya, menganggapnya sebagai sebuah masalah ringan yang tak perlu diperbincangkan. Menimbunnya rapat-rapat. Menyimpannya dalam gudang hatinya, menguncinya, lalu dibuangnya kunci itu. Dan pada akhirnya saat mereka mendapat pencerahan kemudian meminta dia untuk memberikan penilaian tentang diri mereka, dia hanya mampu meringis dan menggeleng pelan. Lalu mengucapkan kata-kata yang umum seperti ; baik, Rajin, Pinter. Dia bahkan tak pernah ingat kalau mereka pernah menghilangkan boneka kesayangannya dan tak pernah meminta maaf. Tapi dia tak pernah keberatan,- kalau tak mau dikatakan protes-. Dia hanya diam, entah adakah yang mengerti atau tidak bahwa sebenarnya dia juga menginginkan ada kata maaf meluncur dari mulut mereka. Namun dia memaklumi mereka dengan pengertian yang ditanam dalam hatinya ‘ karena aku tidak mengungkit-ungkit hal itu mungkin mereka menganggap kalau mereka tak perlu meminta maaf’. Lalu selesai.
Memang seperti itu nyatanya. Dia tak menginginkan bonekanya diganti baru, atau minta ganti rugi, atau marah. Tapi dia hanya menginginkan satu nada di mata mereka, yaitu penyesalan, atau maaf. Yang manapun boleh. Entah mana yang sebenarnya perlu diluruskan. Dia bukan tidak peduli hal-hal sekitar, dia Cuma takut disakiti. Dan lama-lama dia tak mau memikirkan hal-hal yang akan menyakitinya, karena yang da takutkan adalah begitu dia menyadarkan dirinya sendiri kalau dia sakit hati, dia takut tak mampu untuk memaafkan.
Salahkah berpikir begitu?
Entah, untuk pembenaran atas semua yang dia alamipun dia tak tahu harus bertanya kepada siapa. Kepada ibu-kah? Ayah-kah? Bibi? Atau kakak? Atau dosen filsafat? Dia tak kunjung menemukan jawabannya karena pertanyaannya sendiri pun lambat laun terkubur sejalan dengan bergulirnya waktu. Dia tak sempat mengingat detil-detil yang telah dia lewati. Dia tak mampu mengingat dengan baik.
Sekali lagi pertanyaan muncul ; Salahkah? Entah.
Dia berharap hidup akan baik-baik saja kalau dia mengikuti aturan main yang ada, sedikit melanggar mungkin tak masalah. Tapi hidup, senormal apapun, akan selalu berhadapan dengan tantangan, dalam bentuk yang bagaimanapun, dia sudah tahu itu. Tapi mungkin kadang dia lupa, dia terlalu asyik dengan pikirannya yang berputar-putar dan tak jarang kembali lagi ke awal seperti kincir angin, dia hanya membiarkan otaknya berputar tanpa memaksa untuk mendapatkan jawabannya.
gw uda folbek.. salam kenal juga.. ^^
BalasHapus